Rentetan Gempa Melanda Ambarawa-Salatiga Sejak Gempa Pertama Sabtu 23 Oktober 2021


Senin 25 Oktober 2021 (15:50 WIB) Puskom PKSS menginformasikan:

Gempa beruntun masih terus melanda sekitar kawasan Ambarawa dan Salatiga, Jawa Tengah. Sejak gempa pertama berkekuatan M 3 pada Sabtu (23/10/2021), hingga Senin (25/10/2021) pagi ini sudah terjadi 34 gempa.

Gempa terbaru terjadi pada Senin pukul 05.05 WIB berkekuatan M 2,5. Pusat gempa berada di koordinat 7,275 Lintang Selatan dan 110,45196 Bujur Timur, sekitar 8 kilometer barat laut Kota Salatiga, Jateng. Gempa ini termasuk memiliki hiposenter dangkal, yaitu 11 km di bawah tanah.

Dilansir dari kompas.com Senin (25/10), Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, seluruh gempa yang terjadi memiliki magnitudo kecil, bahkan tidak ada yang melebihi magnitudo (M) 3,5. ”Gempa paling banyak terjadi memiliki magnitudo kurang dari M 3 dengan magnitudo terkecil yang dapat dianalisis adalah gempa dengan magnitudo 2,1,” katanya.

Selain kekuatannya yang kecil, seluruh gempa yang terjadi merupakan gempa sangat dangkal dengan kedalaman kurang dari 30 km. Gempa paling banyak terjadi berada di kedalaman kurang dari 10 km di mana gempa terdangkal berada di kedalaman 3 km yang terjadi sebanyak tiga kali.

Kerusakan dan Dampak dari Data BPBD

Sementara laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Tengah, guncangan gempa pertama pada Sabtu menyebabkan retakan bangunan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ambarawa. Selain itu, gempa juga menimbulkan kerusakan rumah warga.

Analisis inaRISK-Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengidentifikasi sebanyak 33 wilayah administrasi setingkat kabupaten dan kota berada pada potensi bahaya gempa bumi kategori sedang hingga tinggi. Wilayah itu antara lain Kota dan Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, serta Ambarawa.

Meskipun magnitudo relatif kecil, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari meminta masyarakat setempat tetap waspada dan siap siaga terhadap potensi dampak guncangan gempa dangkal. ”Dilihat dari catatan historis, beberapa gempa merusak pernah terjadi di sekitar wilayah utara, seperti gempa yang dirasakan di Salatiga (1872), Kota Semarang (1856), Ambarawa (1866), dan Kudus (1877),” sebutnya.

Penyebab Gempa

Menurut Daryono, berdasarkan parameter sebaran temporal magnitudonya, gempa beruntun tersebut dapat dikategorikan sebagai gempa swarm. Gempa swarm dicirikan dengan serangkaian aktivitas gempa bermagnitudo kecil dengan frekuensi kejadian yang sangat tinggi, berlangsung dalam waktu relatif lama di suatu kawasan, tanpa ada gempa kuat sebagai gempa utama.

”Umumnya, penyebab gempa swarm, antara lain, berkaitan dengan transpor fluida, intrusi magma, atau migrasi magma yang menyebabkan terjadinya deformasi batuan bawah permukaan di zona gunung api. Gempa swarm memang banyak terjadi karena proses-proses kegunungapian,” katanya.

Selain berkaitan dengan kawasan gunung api, beberapa laporan menunjukkan bahwa aktivitas swarm juga dapat terjadi di kawasan nonvulkanik (aktivitas tektonik murni) meskipun kejadiannya sangat jarang. Swarm dapat terjadi di zona sesar aktif atau kawasan dengan karakteristik batuan yang rapuh sehingga mudah terjadi retakan.

”Terkait fenomena swarm yang mengguncang Banyubiru, Ambarawa, Salatiga, dan sekitarnya, ada dugaan jenis swarm tersebut berkaitan dengan fenomena tektonik (tectonic swarm) karena zona ini cukup kompleks berdekatan dengan jalur Sesar Merapi Merbabu, Sesar Rawapening, dan Sesar Ungaran,” paparnya.

Dugaan tektonik swarm ini, menurut Daryono, tampak dari bentuk gelombang geser (shear wave) yang sangat jelas dan nyata menggambarkan adanya pergeseran dua blok batuan secara tiba-tiba. Swarm tektonik umumnya terjadi karena adanya bagian sesar yang mengalami rayapan (creeping) sehingga mengalami deformasi aseismik atau bagian/segmen sesar yang tidak terkunci (locked) bergerak perlahan seperti rayapan (creep).

”Fenomena gempa swarm di Banyubiru ini tentu sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut dan menjadi tantangan bagi para ahli kebumian kita untuk mengungkap penyebab sesungguhnya,” katanya.

Rentetan Gempa Swarm

Gempa swarm bukan sekali ini terjadi di Indonesia. Beberapa pernah terjadi, di antaranya di Klangon, Madiun, pada Juni 2015; Jailolo, Halmahera Barat, pada Desember 2015; dan Mamasa, Sulawesi Barat, pada November 2018.

Menurut Daryono, masa berakhirnya aktivitas swarm berbeda-beda, dapat berlangsung selama beberapa hari, beberapa minggu, beberapa bulan, hingga beberapa tahun seperti halnya swarm Mamasa yang mulai terjadi sejak akhir tahun 2018 dan masih terus terjadi hingga saat ini.

Dampak gempa swarm kekuatannya cukup signifikan dan guncangannya sering dirasakan dapat meresahkan masyarakat. Masyarakat diimbau tidak panik, tetapi waspada. Terjadinya fenomena gempa swarm ini setidaknya menjadi pembelajaran tersendiri untuk masyarakat karena aktivitas swarm memang jarang terjadi.

Dampak Gempa Pada Unit Kerja Kelolaan PKSS 

Hasil koordinasi Tim Puskom PKSS dengan Bapak Syarif Hidayat (BM PKSS Cabang Semarang). Pasca terjadinya rentetan gempa di Wilayah Salatiga - Ambarawa, kondisi unit kerja kelolaan PKSS dan kondisi Rekanan PKSS tidak terdampak gempa. Dilaporkan sampai saat ini dilaporkan aman terkendali. 

Demikian informasi yang dapat disampaikan.

Sumber: BMKG, BNPB, kompas.com & Bapak Syarif Hidayat (BM PKSS Cabang Semarang)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mitigasi Gempa Bumi

Tips Penting untuk Melindungi Diri dari Ancaman Gempa Megathrust

MITIGASI GEMPA BUMI